Minggu, 16 Juli 2017

Peran Psikoterapi Dalam Kehidupan Masyarakat


Peran Psikoterapi Dalam Kehidupan Masyarakat

Menurut Lewis R.Wolberg.Mo (1997) dalam bukunya yang berjudul The Technique of Psychotheraphy mengatakan bahwa: “Psikoterapi adalah perawatan dengan menggunakan alat-alat psikologis terhadap permasalahan yang berasal dari kehidupan emosional dimana seorang ahli secara sengaja menciptakan hubungan profesional dengan pasien, yang bertujuan: (1) Menghilangkan, mengubah atau menemukan gejala-gejala yang ada, (2) memperantai (perbaikan) pola tingkah laku yang rusak,dan (3) meningkatkan pertumbuhan serta perkembangan kepribadian yang positif”.  
Masalah-masalah yang dapat ditangani secara efektif dengan menggunakan psikoterapi, yaitu depresi, kegelisahan, gangguan kegelisahan, termasuk fobia (takut akan sesuatu), alkoholisme, kecanduan, krisis percaya diri, krisis emosional, perselisihan keluarga, masalah pernikahan, gangguan obsesif kompulsif, gangguan kejiwaan setelah suatu kejadian (post-traumatic stress disorder), kelainan kepribadian, masalah terkait kekerasan terhadap anak, masalah perilaku, kelainan bipolar, serta skizofrenia, khusus untuk masalah bipolar dan skizofrenia, biasanya membutuhkan anti-depresan dan obat-obatan lainnya ditambah dengan sesi psikoterapi teratur. Dalam membahas psikoterapi juga ada beberapa perawatan yang tersedia. jenis yang akan digunakan oleh psikolog, bergantung pada kebutuhan, penelitian psikologis terbaru dan teori yang dianut oleh psikolog. metode psikoterapi yang biasanya digunakan adalah psikoterapi psikodinamik atau psikoanalitik, terapi perilaku, terapi kognitif, dan terapi kemanusiaan.
Peran psikoterapi dalam masyarakat adalah untuk memotivasi agar para masyarakat, khususnya masyarakat yang memiliki permasalahan dalam maupun luar diri agar dapat melakukan direct coping, biasanya dilakukan melalui terapi yang sifatnya direktif  (memimpin) dan suportif (memberikan dukungan dan semangat), persuasi (ajakan) dengan cara diberi nasehat sederhana sampai pada hypnosis (keadaan seperti tidur karena sugesti) digunakan untuk menolong orang bertindak dengan cara yang tepat. sehingga dapat memperkuat motivasi untuk melakukan hal-hal yang positif, mengurangi tekanan emosional, membantu mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam diri, mengajari masyarakat untuk memiliki keterampilan dalam hidup yang sangat penting agar dapat meningkatkan hubungan pribadi mereka, memperbaiki perilaku, mengubah pola pikir, meningkatkan pengetahuan dan cara mengambil keputusan dengan tepat, meningkatkan kesadaran diri (insight), menolong masyarakat untuk mengerti masalah mereka dan memahaminya dari sudut pandang yang berbeda serta meningkatkan kesadaran dan kontrol terhadap kondisi tubuh. Masyarakat yang mampu melakukan direct coping diyakini akan cenderung merasa lebih sehat dan bahagia.








Daftar Pustaka




Sabtu, 15 Juli 2017

Analisis Video

ANALISIS VIDEO TERAPI AVERSI (AVERSION  THERAPY)




     Dalam video tersebut terapat tiga orang wanita, dimana wanita pertama merupakan anak dari wanita ke dua, wanita kedua adalah ibu dari wanita pertama, dan wanita ketiga merupakan seorang terapis. Wanita pertama yang berusia 16 tahun menjelaskan bahwa ibunya adalah seorang perokok yang sudah merokok sejak lama. Wanita tersebut mengatakan bahwa orang-orang meninggal karena kebiasaan merokok, dan ia juga takut bahwa ibunya meninggal karena perilaku merokok sang ibu. Wanita kedua berusia 40 tahun yang merupakan ibu dari wanita pertama mengatatakan bahwa ia sudah melakukan perlaku merokok sejak usia 15 tahun, sejak ia muda banyak orang yang meminta untuk berhenti melakukan perilaku merokoknya, kemudian ia mencoba untuk berhenti merokok, tetapi tidak berhasil. Untuk itu, ia berpikir bahwa saat inilah yang tepat untuk menghentikan perilaku merokoknya tersebut karena menurutnya semua orang sangat khawatir kepadanya, termasuk putrinya dan ia juga mengkhawatirkan dirinya sendiri. Ia akan melakukan berbagai cara untuk menghentikan perilaku merokoknya dan ia harap apapun caranya dapat berhasil menghentikan perilaku merokoknya. 
Sang anak juga berharap sang ibu dapat berhasil menghentikan perilaku merokoknya. Anak tersebut mengatakan bahwa terapis berjanji membantunya untuk menghentikan perilaku merokok ibunya dengan menggunakan terapi aversi yang dilakukan dengan memberikan kejutan listrik. Setelah melaui persetujuan kedua belah pihak, maka sang terapis memulai untuk melakukan terapi aversi kepada sang ibu yang memiliki kebiasaan merokok. Dalam menjalankan terapi, terapis menyediakan satu batang rokok berserta korek api dan memasangkan kabel yang berisi aliran listrik ditangan sang ibu dan terapis juga menjelaskan terlebih dahulu bahwa ketika sang ibu mengambil rokok, maka ia mengejutkan listrik ke tangan sang ibu melalui kabel yang telah dipasangan.
Sesi pertama, terapis membebaskan sang ibu untuk merokok, kemudian setelah sang ibu hendak merokok ia diberi kejutan listrik oleh terapisnya, sehingga sang ibu kaget dan melemparkan rokok beserta korek apinya. Kemudian setelah itu terapisnya membiarkan sang ibu untuk mengambil rokok kembali, namun berbeda denga tadi ketika sang ibu hendak mengambil rokok, kejutan listrik sudah diberikan, sang ibu pun merasa kaget dan kesakitan. Sang terapi terus menerus membiarkan sang ibu untuk merokok, namun setiap ali ua hendak mengambil rokok, ia selalu diberi kejutan listrik oleh terapi. Sehingga pada sesi terakhir sang ibu mangatakan bahwa terapi tersebut benar-benar membantunya dan ketika sang terapis membebaskan ia untuk merokok kembali, ia menolak untuk merokok. Setelah proses terapi berakhir, sang ibu mengatakan bahwa ia merasa senang karena berhasil menghentikan perilaku merokoknya, begitu pun dengan sang anak, sang anak juga mengatakan bahw ia sangat senang karena terapinya berjalan dengan lancar dan berhasil membuat sang ibu berhenti melakukan perilaku merokoknya, dengan begitu dapat menyelamatkan hidup sang ibu.
Seperti yang sudah dijelaskan dalam teori terapi aversi di atas, di mana stimulus yang tidak menyenangkan yang disajikan tersebut diberikan secara bersamaan dengan munculnya perilaku yang tidak dikehendaki kemunculannya, dalam video tersebut dibuktikan pada saat terapi memberikan stimulus yang tidak menyenangkan, yaitu berupa kejutan listrik bersamaan ketika klien (sang ibu) mengambil rokok tersebut. Terapi aversion ini adalah bentuk pengobatan psikologis di mana pasien yang terkena stimulus menjadi sasaran beberapa bentuk ketidaknyamanan. Teknik aversi ini bisa diberikan dengan menggunakan kejutan listrik, atau memberikan ramuan yang membuat mual. Sebagaimana yang diperlihatkan dalam video tersebut, dalam melakukan teknik terapi aversi, terapis menggunakan kejutan listrik dan hasil dari proses terapi dalam video tersebut berhasil membuat klien berhenti melakukan perilaku merokoknya.

Kamis, 13 Juli 2017

Terapi Behavioristik

TERAPI AVERSI (AVERSION THERAPY)

Dalam banyak kasus, tujuan terapi adalah mengeleminasi atau mengurangi tingkah laku bermasalah. Salah satu teknik khusus dalam konseling behavioral yaitu, Pengkondisian  Aversi (Aversion Therapy).  Teknik ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan klien agar mengamati respon pada stimulus yang disenanginya dengan kebalikan stimulus tersebut. Stimulus yang tidak menyenangkan  yang disajikan tersebut diberikan secara bersamaan dengan munculnya perilaku yang tidak dikehendaki kemunculannya. Terapi aversion adalah bentuk pengobatan psikologis di mana pasien yang terkena stimulus menjadi sasaran beberapa bentuk ketidaknyamanan. Teknik aversi digunakan untuk meredakan gangguan-gangguan behavioral spesifik yang melibatkan pengasosiasian tingkah laku simtomatik dengan suatu stimulus yang menyakitkan sampai tingkah laku yang tidak diinginkan terhambat kemunculannya. Kendalinya bias melibatkan penarikan pemerkuat positif atau penggunaan hukuman (misalnya, kejutan listrik, atau memberikan ramuan yang membuat mual).
Hal ini dimaksudkan untuk menyebabkan pasien untuk mengasosiasikan stimulus dengan sensasi tidak menyenangkan dalam rangka untuk menghentikan perilaku tertentu yang tidak diinginkan. Terapi aversion dapat digunakan sebagai pengobatan psikologis. Ini  menggunakan sejumlah teknik perubahan perilaku yang telah terbukti  bermanfaat di masa lalu. Terapi aversion dapat mengobati perilaku yang maladjustive, misalnya, pecandu rokok, peminum, dan homoseksual. Terapi ini juga dapat digunakan untuk melawan obsesi dan kompulsi, untuk  tingkat tertentu.
Kita mungkin masih bingung antara “punishment” dengan “aversive counterconditioning”. Punishment adalah salah satu teknik operan yang didesain untuk menyebabkan “suppression” pada tingkah laku bermasalah, sedangkan aversive counterconditioning merupakan suatu prosedur berdasarkan classical conditioning yang didesain untuk mengubah kekuatan suatu konfigurasi stimulus. Contoh, stimulus alcohol mempunyai kekuatan positif untuk alkoholik. Kemudian, aversive conditioning digunakan untuk men-suppress tingkah laku peminum, tetapi untuk memantapkan kekuatan negative stimulus. Pada awalnya aversive counterconditioning merupakan prosedur jalan pintas (pelarian), dimana klien mencoba untuk melepaskan “noxious stimulation”. 
Komalasari, Wahyuni, Karsih (2011) mengungkapkan beberapa poin yang perlu menjadi perhatian bagi konselor dalam menerapkan terapi aversi, diantaranya adalah:
a. Hukuman jangan sering digunakan, meskipun konseli menginginkannya. Apabila masih ada alternatif baiknya digunakan cara-cara pemberian reinforcement positif, untuk mengurangi efek samping hukuman.
b. Bila menggunakan hukuman, perumusan tingkah laku alternatif harus spesifik dan jelas.
c. Selain itu hukuman digunakan dengan cara-cara yang tidak mengakibatkan konseli merasa ditolak sebagai pribadi.
d. Konseli harus tahu bahwa konsekuensi aversif diasosiasikan dengan tingkah laku maladaptif spesifik.








Daftar Pustaka

Corey, G. (1991). Teori dan praktek dari konseling psikoterapi. Semarang: IKIP Semarang Press.

Komalasari, G., Wahyuni, E., & Karsih. (2011). Teori dan Teknik Konseling. Jakarta: PT Indeks.

Walker, C., Eugene, et. al. (1981). Clinical prosedures for behavior therapy. New Jersey: Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs. 

Jumat, 31 Maret 2017

JENIS-JENIS TERAPI BERDASARKAN 3 MAZHAB BESAR PSIKOLOGI

1.       Mazhab Psikoanalisis

Psikoanalisis merupakan salah satu aliran besar dalam sejarah ilmu psikologi. Pembahasan mengenai psikoanalisis tidak dapat dipisahkan dari tokoh Sigmund Freud yang membangun teori ini, namun tidak hanya Sigmund Freud yang menjadi tokoh penting dalam aliran ini, melainkan ada beberapa tokoh penting lainnya, yaitu Carl Gustav Jung, dan Alffred Adler. 
Menuru Gunarsa (dalam Hidayat, 2011) psikoanalisis merupakan upaya mempengaruhi proses-proses psikologis. Secara umum, psikoanalisis dapat dikatakan sebagai pandangan tentang, di mana ketidaksadaran memainkan peran sentral. Freud sendiri menjelaskan arti istilah psikoanalisis tidak selalu sama. Salah satu yang terkenal beradal dari tahun 1923 dan terdapat dalam suatu artikel yang dia tulis bagi sebuah kamus ilmiah Jerman. Di situ Freud membedakan psikoanalisis menjadi tiga arti:
  1. Istilah “psikoanaisis” dipakai untuk menunjukkan suatu metode penelitian terhadap proses-proses psikis yang sebelumnya hampir tidak terjangkau oleh penelitian ilmiah.
  2. Psikoanalisis menunjukkan suatu teknik untuk mengobati gangguan-gangguan psikis yang dialami oleh pasien neurosis.
  3. Istilah yang juga dipakai dalam arti lebih luas, untuk menunjukkan seluruh pengetahuan psikologis yang diperoleh melalui metode dan teknik di atas. Dalam arti terakhir ini, “psikoanalisis” mengacu pada suatu ilmu yang di mata Freud benar-benar baru.
Disamping itu dalam aliran ini juga berkontribusi dalam memberikan terapi atau perawatan dalam menghadapi beberapa gangguan. Terapi psikoanalisis dikembangkan Freud untuk menjelaskan personality dan perilaku terkait dengan keinginan bawah sadar dan konflik. Personaliti terdiri dari id (yang mengarahkan individu menuju kenyamanan), ego (yang menengahi antara keinginan internal dan realita) dan super ego (dikembangkan dari standar moral dan sosial yang ditanamkan oleh orang tua). Terapi psikoanalitik itu terdiri dari dua kata, yaitu “terapi” dan “psikoanalitik”. Secara eksplisit, “terapi” dalam psikologi berarti perawatan masalah-malah tingkah laku. Sedangkan “psikoanalitik” merujuk pada metode psikoterapi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud. Dengan demikian, terapi psikoanalitik dapat dipahami sebagai perawatan yang dikembangkan oleh Freud, dengan memusatkan perhatian pada pengidentifikasian penyebab-penyebab tak sadar dari tingkah laku abnormal dengan menggunakan metode hipnotis, asosiasi bebas, analisis mimpi, transferensi, dan penafsiran. Tujuan Utama dari treatmen psikoanalisis yang dikembangkan oleh Freud adalah untuk mebawa hal-hal yang ditekan dan tidak disadari ke alam sadar.
  • Hipnotis adalah suatu prosedur yang menyebabkan sensasi, persepsi, pikiran, perasaan, atau tingkah laku berubah karena disugesti. Seperti ditulis Semiun (2006) mengidentifikasi individu yang dihipnotis, bahwa dia yang dihipnotis itu (1) perhatiannya dipersempit dan terfokus, (2) menjadikannya sangat mudah menggunakan imajinasi dan berbagai halusinasi, (3) sikap individu itu menjadi pasif dan reseptif, (4) tanggapan terhadap rasa sakit berkurang, dan (5) sangat mudah sekali disugesti, dengan kata lain, kesediannya untuk mengadakan respon terhadap perubahan-perubahan persepsi meningkat. Dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008), kita akan temukan bahwa hipnotis itu suatu perbuatan yang membuat atau menyebabkan seseorang berada dalam keadaan hipnosis, yaitu keadaan seperti tidur karena sugesti, yang dalam taraf permulaan orang itu berada di bawah pengaruh orang yang memberikan sugestinya, tetapi pada taraf berikutnya menjadi tidak sadar sama sekali. Dalam terapi psikoanalitik, hipnotis digunakan oleh Freud pada tahap awal kepraktikannya bersama seorang neurolog Prancis kenamaan Jean Charcot dan dokter asal Wina Josef Breuer saat menangani pasien yang mengidap histeria
  • Asosiasi bebas (free association), klien mengungkapkan apapun yang ada dalam pikirannya. Asosiasi bebas merupakan proses pengungkapan tanpa sensor dari pikiran-pikiran segera setalah pikiran masuk kebenak kita. Asosiasi bebas dipercaya secara bertahap akan mengahancurkan pertahanan yang menghambat kesadaran tentang proses bawah sadar. Klien diminta untuk tidak menyensor atau menyaring pikiran, tetapi membiarkan pikiran mereka mengembara secara bebas dari satu pikiran ke pikiran lain. 
  • Analisis mimpi (dream analysis), klien menceritakan kejadian-kejadian yang dilihatnya dalam mimpi kepada terapis untuk kemudian menghubungkan kejadian-kejadian ini secara bebas. Mimpi merupakan “jalan utama menuju ketidaksadaran”. Selama tidur, pertahanan ego melamah dan impuls yang tidak dapat diterima menemukan ekspresinya dalam mimpi. Kerena pertahanan tidak seluruhnya dihapuskan, impuls mengambil bentuk yang disamarkan atau diasosiasikan. Dalam teori analitik, mimpi memiliki dua tingkatan muatan: 
            a.    Muatan manifest (manifest content) : materi mimpi yang dialami dan dilaporkan.
            B.  Muatan Laten (latent content): materi bawah sadar yang disimbolisasi atau diwakili 
                 dalam mimpi.
  • Transferensi, dalam psikoanalitik Freud, transferensi berarti proses pemindahan emosi-emosi yang terpendam atau ditekan sejak awal masa kanak-kanak oleh pasien kepada terapis. Transferensi dinilai sebagai alat yang sangat berharga bagi terapis untuk menyelidiki ketaksadaran pasien karena alat ini mendorong pasien untuk menghidupkan kembali berbagai pengalaman emosional dari tahun-tahun awal kehidupannya. Transferensi pada tahap yang paling kritis berefek abreaksi (pelepasan tegangan emosional) pada pasien. Efek lain yang mungkin, yaitu saat pasien secara terbuka mentransferkan perasaan-perasaannya sehingga menyebabkan kelekatan, ketergantungan, bahkan cinta kepada terapis.
  • Penafsiran atau Interpretasi merupakan adalah penjelasan dari psikoanalis tentang makna dari asosiasi-asosiasi, berbagai mimpi, dan transferensi dari pasien. Caranya dengan tindakan-tindakan terapis untuk menyatakan, menerangkan dan mengajarkan klien makna-makna tingkah laku apa yang dimanifestasikan dalam mimpi, asosiasi bebas, resistensi dan hubungan terapeutik itu sendiri. Sederhananya, yaitu setiap pernyataan dari terapis yang menafsirkan masalah pasien dalam suatu cara yang baru. Penafsiran oleh analis harus memperhatikan waktu. Dia harus dapat memilah atau memprediksi kapan waktu yang baik dan tepat untuk membicarakan penafsirannya kepada pasien.



2.        Mazhab Behavioristik

        Behavioristik merupakan aliran psikologi yang dikembangkan oleh John B. Watson sejak tahun 1913. Watson dalam artikelnya berjudul “Psychological Review” mengemukakan bahwa psikologi harus meninggalkan fokus kajian terhadap mental, dan mengalihkan fokus kajian terhadap tingkah laku yang tampak (behavior). Para ahli psikologi behavioristik seperti Clark L. Hull, Thorndike, Pavlov dan Skinner kurang memiliki perhatian terhadap struktur kepribadian internal layaknya psikoanalisis. Mereka beralasan bahwa psikologi tidak meneliti proses mental secara ilmiah, sebab proses tersebut bersifat pribadi dan tidak dapat diamati publik.
Behavioristik secara keras menolak unsur kesadaran yang tidak nyata sebagai objek dari studi psikologi dan membatasi diri pada studi tentang perilaku nyata. Behavioristik ingin menganalisis perilaku yang tampak, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Manusia pada dasarnya tidak membawa bakat apa-apa. Manusia berkembang berdasarkan stimulus yang diterima dari lingkungan. Aliran ini juga mengatakan bahwa lingkungan yangh baik akan menghasilkan manusia yang baik, sedangkan lingkungan yang buruk akan menghasilkan manusia yang buruk pula. Pelopor-pelopor aliran behavioristik pada dasarnya berpegang pada keyakinan bahwa perilaku manusia merupakan hasil dari proses belajar, oleh karena itu dapat diubah dengan pembelajaran baru.
Terapi behavior adalah salah satu teknik yang digunakan dalam menyelesaikan tingkah laku yang ditimbulkan oleh dorongan dari dalam dan dorongan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup yang dilakukan melalui proses belajar agar bisa bertindak dan bertingkah laku lebih efektif, lalu mampu menganggapi situasi dan masalah dengan cara yang lebih efektif dan efisien. Aktivitas inilah yang disebut sebagai belajar.
Masalah-masalah yang dihadapi dalam terapi behavioral adalah mengenai perilaku-perilaku yang tidak sesuai dengan harapan, artinya berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan negatif ataupun perilaku yang tidak tepat. Perilaku yanng seperti itu merupakan hasil dari interaksi yang salah dengan lingkungannya, sehingga mengakibatkan penyimpangan perilaku. Adapun tujuan dari terapi behavioral ini adalah  mencapai kehidupan tanpa mengalami perilaku simptomatik, yaitu kehidupan tanpa mengalami kesulitan atau hambatan perilaku yang dapat membuat ketidakpuasan jangka panjang, atau mengalami konflik dengan lingkungan sosial. secara keseluruhan terapi behavioral ini bertujuan untuk menghapus pola tingkah laku maladaptive/maladjustment, membantu belajar tingkah laku konstruktif, dan merubah tingkah laku.
  1. Desensitisasi sistematis, merupakan teknik relaksasi yang digunakan untuk menghapus perilaku yang diperkuat secra negatif biasanya berupa kecemasan misal: phobia, dan menyertakan respon yang berlawanan dengan perilaku yang akan dihilangkan dengan cara memberikan stimulus yang berangsur dan santai. Dalam pelaksanaanya klien mempraktikan relaksasi sambil membayangkan stimulus yang ditakuti secara bertahap, mulai dari stimulus yang menimbulkan kecemasan ringan, kemudian bertahap membayangkan stimulus yang menimbulkan kecemasan sedang, hingga stimulus yang menimbulkan kecemasan yang sangat tinggi. Terapi ini telah digunakan secara luas dan terbukti efektif untuk mengatasi masalah takut yang berlebihan.
  2. Terapi implosif, terapi ini dikembangkan atas dasar pandangan tentang seseorang yang secara berulang-ulang dihadapkan pada situasi kecemasan dan konsekuensi-konsekuensi yang menakutkan ternyata tidak muncul, maka kecemasan tersebut akan hilang. Atas dasar itu pada terapi ini klien diminta untuk membayangkan stimulus-stimulus yang menimbulkan kecemasan.
  3. Latihan perilaku asertif, terapi ini digunakan untuk melatih individu yang mengalami kesulitan untuk menyatakan dirinya bahwa tindakannya layak atau benar.
  4. Pengkondisian aversi, teknik ini digunakan untuk meredakan perilaku simptomatik dengan cara menyajikan stimulus yang tidak menyenangkan, sehingga perilaku yang tidak dikehendaki tersebut tidak akan muncul kembali.
  5. Pembentukkan perilaku model, digunakan untuk membentuk perilaku baru pada klien, memperkuat perilaku yang sudah terbentuk dengan menunjukkan kepada klien tentang perilaku model. Teknik perilaku juga mengguanakan teknik-teknik yang didasarkan pada operan conditioning atau pengahdiahan (reward) dan hukuma secara sistematis untuk membentuk perilaku yang diharapkan.
  6. Kontrak perilaku, adalah persetujuan antara dua dua orang atau lebih (konselor dan klien) untuk mengubah perilaku tertentu pada klien. Dalam terapi ini konselor memberikan ganjaran positif dipentingkan daripada memberikan hukuman jika kontrak tidak berhasil.





3.       Mazhab Humanistik

            Perspektif Humanistik (humanistic perspective) adalah keyakinan bahwa motivasi manusia didasarkan pada suatu tendensi bawaan untuk pencarian pemenuhan diri dan arti dalam hidup. Menurut teori humanistic seseorang termotivasi oleh kebutuhan untuk memahami diri mereka dan dunia serta untuk mendapatkan pengalaman yang lebih banyak dengan cara memenuhi potensi unik mereka.
        Psikologi humanistik menyoroti tingkah laku secara lebih luas. Memandang bahwa memiliki faktor internal dan eksternal dalam pembentukannya. Keduanya tidak bisa dilepaskan satu sama lain, bukan seperti psikoanalisis dan behavioristik. Aliran ini layaknya penggabungan antara kedua aliran psikologi sebelumnya. Masa lalu begitu mempengaruhi tingkah laku manusia tetapi tidak boleh dilepaskan dari stimulus yang diperoleh dari lingkungan. Lebih lagi yang perlu ditekankan bahwa pembentukan tingkah laku manusia tidak hanya dikendalikan oleh lingkungan atau masa lalu, tetapi manusia punya kemampuan mengarahkan diri dengan sifat subjektivitasnya sebagai individu.
       Pada perspektif humanistic, dalam penanganan abnormal bisa menggunakan Client-centered Therapy (Carl R. Rogers), Gestalt Therapy (Fritz Perls), Transactional Analysis (Eric Berne), Rational-Emotive Therapy (Albert Ellis), Logotherapy (Viktor Frankl), Existential Analysis (Rollo May, James F. T. Bugental), serta Terapi kelompok dengan pendekatan humanistik.  Sedangkan Tujuan utama terapi humanistik adalah membawa individu untuk mengenali dorongan alamiah (innate tendency) untuk meningkatkan dirinya agar mengarah pada pertumbuhan (growth), serta kematangan (maturity) hidup.
  • Client-centered Therapy (oleh Carl R. Rogers)
    Menurut pendekatan Client-Centered yang dikemukan oleh Rogers, terapi harus berfokus pada kebutuhan klien, bukan pada sudut pandang klinisi. Tugas seorang klinisi adalah untuk membantu klien menemukan kebaikan dasar mereka untuk kemudian membantu klien mencapai pemahaman yang lebih besar mengenai diri mereka. Rogers merekomendasikan para terapis untuk melakukan treatment terhadap klien dengan penerimaan positif tidak bersyarat (unconditional positive regard). Metode ini melibatkan penerimaan penuh terhadap apa yang dikatakan, dilakukan, dan dirasakan klien. Terapi dengan model Client-Centered sering menggunakan teknik-teknik seperti refleksi dan klarifikasi. Dalam refleksi, terapis mencerminkan kembali apa yang baru saja dikatakan oleh klien, mungkin dengan cara menfrasekan kembali.
  •  Gestalt Therapy ( oleh Fritz Perls)
    Prinsip yang ada pada terapi ini adalah setiap individu harus menemukan jalan hidupnya sendiri dan menemukan tanggung jawab pribadi bila ingin mencapai kematangan. Penekanan terapi Gestalt adalah pada perubahan perilaku. Asumsi dasar terapi ini adalah adanya anggapan bahwa individu memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, cakap dalam mengambil keputusan pribadi, mampu mengambil keputusan terbaik bagi aktualisasi diri secara mandiri, memiliki potensi, identitas dan keunikan diri, selalu tumbuh dan mampu berubah. Tugas utama terapis adalah membantu klien mengalami sepenuhnya keberadaannya di sini dan sekarang (“here and now”).
  • Transactional Analysis (oleh Eric Berne)
    Analisis Transaksional merupakan bentuk terapi yang lebih memfokuskan pada kemampuan individu untuk mengambil keputusan baru. Analisis Transaksional menekankan aspek kognitif-rasional-behavioral dalam membuat keputusan baru.
  •  Rational-Emotive Therapy (oleh Albert Ellis)
    Rasional emotive adalah teori yang berusaha memahami manusia sebagaimana adanya. Manusia adalah subjek yang sadar akan dirinya dan sadar akan objek-objek yang dihadapinya. Manusia adalah makhluk berbuat dan berkembang dan merupakan individu dalam satu kesatuan yang berarti manusia bebas, berpikir, bernafas, dan berkehendak. Pandangan pendekatan rasional emotif tentang kepribadian dapat dikaji dari konsep-konsep kunci teori Albert Ellis : ada tiga pilar yang membangun tingkah laku individu, yaitu Antecedent event (A), Belief (B), dan Emotional consequence (C). Kerangka pilar ini yang kemudian dikenal dengan konsep atau teori ABC.
  •    Logotherapy ( oleh Viktor Frankl)
    Logotherapy berasal dari kata logos (Yunani), yang dapat diartikan sebagai arti dan semangat. Manusia butuh untuk mencari arti kehidupan mereka dan logoterapi membantu kliennya dalam pencarian. Logoterapi dilandasi keyakinan bahwa itu adalah berjuang untuk menemukan makna dalam kehidupan seseorang yang utama, yang paling kuat memotivasi dan pendorong dalam manusia. Dalam teknik logoterapi dapat membantu klien untuk menemukan arti kehidupan dan membangun keyakinan bahwa hidup itu harus berjuang  dan mempunyai pribadi yang kuat. Tidak hanya untuk memotivasi logoterapi membantu mencari tau menemukan masalah sebelumnya agar diselesaikan.
  • Existential Analysis (oleh Rollo May, James F. T. Bugental)
    Konsep dasar terapi eksistensial adalah mengubah konsep berpikir, dari kondisi merasa lemah dan tidak berdaya menjadi lebih bertanggung jawab dan mampu mengontrol kehidupannya sendiri, menemukan jati dirinya, sehingga menemukan kesadaran diri sendiri yang dapat mengeliminasi perasaan tidak berarti. Konsep teori eksistensialis bukan merupakan sistem terapi yang komprehensif , eksistensialis memandang proses terapi dari susdut pandang suatu paradigma untuk memahami dan mengerti kondisi individu yang sedang bermasalah. 
  •  Terapi kelompok
    Irvin Yalom (1995), teoritikus terapi kelompok terkemuka menyatakan bahwa ada beberapa faktor dalam pengalaman kelompok yang bersifat terapeutik. Klien dalam terapi kelompok biasanya merasakan kelegaan dan harapan karena menyadari bahwa masalah mereka tidaklah unik. Terapi kelompok memberi mereka dukungan situasi yang kondusif untuk diskusi yang terus terang mengenai dorongan dan metode kontrak diri.





Selasa, 29 November 2016

KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL DAN TRANSFORMASIONAL

Kasus Berdasarkan Kepemimpinan Transaksional dan Transformasional

1. Kepemimpinan Transaksional

Burns (1978) mendefinisikan kepemimpinan transaksional sebagai kepemimpinan berdasarkan transaksi atau pertukaran yang terjadi antara pemimpin dan bawahan. Pertukaran ini didasarkan pada diskusi pemimpin dengan pihak-pihak terkait untuk menentukan kebutuhan, spesifikasi serta kondisi imbalan atau hadiah yang akan diberikan kepada bawahan jika bawahan memenuhi atau mencapai syarat-syarat yang ditentukan oleh pemimpin.

Kasus: 

Citizen6, Jakarta Sejak Kamis, 5 Februari 2015 hingga hari ini Jumat (6/2/2015), publik diramaikan dengan kabar bahwa Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok akan memberikan tawaran yang menggiurkan bagi masyarakat yang memotret angkot yang sedang mengetem.
Seperti yang Anda tahu, salah satu penyebab kemacetan di Jakarta adalah tingkah para sopir angkot yang seenaknya mengetem mobilnya di sembarang tempat untuk mengambil ataupun menurunkan penumpang sehingga menimbulkan penumpukan kendaraan lainnya yang menyebabkan macet. Banyaknya sopir angkot yang mengabaikan tata tertib lalu lintas nyatanya membuat Ahok geram. Beragam cara pun dipakai Ahok untuk mengetahui angkot dengan nomor plat berapa yang masih bandel dalam mentaati tata tertib lalu lintas di Jakarta. Salah satunya dengan mengajak masyarakat untuk mengambil gambar angkot yang mengetem, dan menariknya Ahok akan memberikan imbalan uang tunai sebesar Rp 50 ribu. 
"Kirim gambar (foto -red) saja. Satu gambar Rp 5.000 sampai Rp 50.000. Foto biar saya bisa tahu plat nomornya berapa," ucap Ahok di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Rabu (4/2), dilansir hai-online.com pada Jumat (6/2/2015). Pernyataan Ahok pun langsung mendapat sorotan masyarakat. Pantauan Citizen6 perbincangan tersebut nyatanya menjadi topik populer di linimasa Twitter, terlihat beragam ciapan diungkapkan onliner dalam menanggapi pemberitaan tersebut. Bahkan onliner merasa senang karena akan mendapat uang tambahan jika berpatisipasi dalam sikap yang diambil Ahok.

Analisis Kasus: Kepemimpinan yang diterapkan oleh Ahok termasuk ke dalam kepemimpinan transaksional. Mengapa demikian? Karena usaha yang dilakukan Ahok dalam mengurangi kemacetan yang disebabkan oleh angkutan umun yang sering mengetem seenaknya di jalan melibatkan masyarakat setempat, di mana Ahok akan memberikan imbalan sebesar Rp. 5000 sampai Rp. 50.000 kepada masyarakat yang dapat mengambil gambar/foto angkutan umum yang sedang mengetem. Hal tersebut sesuai dengan teori yang dijelaskan oleh Burns bahwa dalam kepemimpinan transaksional adanya transaksi atau pertukaran yang terjadi antara pemimpin dan bawahan, dapat berupa imbalan atau hadiah. Dari sejumlah imbalan yang diberikan oleh Ahok kepada masyarakat yang berhasil mengambil gambar angkutan yang mengetem dapat memotivasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam memperbaiki kemacetan di ibu kota.


2.    Kepemimpinan Transformasional

Bass (1997) mendefinisikan bahwa pemimpin transformasional adalah seseorang yang meningkatkan kepercayaan diri individual maupun grup, membangkitkan kesadaran dan ketertarikan dalam grup dan organisasi, dan mencoba untuk menggerakkan perhatian bawahan untuk pencapaian dan pengembangan eksistensi.

Contoh kasus: Mahatma Gandhi secara khusus merupakan gambaran ideal dari seorang pemimpin transformasional. Kepemimpinan Gandhi mengedepankan nilai “non-kekerasan” dan nilai-nilai lainnya yang bersifat egalitarian, nilai-nilai mana sungguh memberikan dampak perubahan dalam diri orang-orang dan lembaga-lembaga di India. Kepemimpinan Gandhi sungguh memiliki tujuan secara moral, karena tujuannya adalah memenangkan kemerdekaan pribadi bagi orang-orang sebangsanya dengan membebaskan mereka dari penindasan oleh pemerintah kolonial Inggris. Kepemimpinan Gandhi mmapu mengangkat para pengikutnya ke tingkat moral yang lebih tinggi dengan melibatkan mereka dalam aktivitas-aktivitas non-kekerasan guna mencapai keadilan sosial.












Daftar Pustaka
Bass, B.M. (1997). Personal selling and transactional/transformational leadership. Journal of Personal Selling & Sales Management, Vol. XVII, No. 3 (Summer 1997, Pages 19-28).
Burns, J.M..(1976). Leadership, perennial, an imprint of harpercollins publishers. www harpercollins.com
Kuhnert. (1994). Transactional and transformational leadership: A constructive/ developmental analysis. Academy of Management Review, 12,648-657 

Jumat, 25 November 2016

KEPEMIMPINAN

     KEPEMIMPINAN
A.    Definisi Kepemimpinan
Menurut Stoner, Freeman, dan Gilbert (1995), kepemimpinan adalah the process of directing and influencing the task related activities of group members. Kepemimpinan adalah proses dalam mengarahkan dan mempengaruhi para anggota dalam hal berbagai aktivitas yang harus dilakukan.
Menurut Tannenbaum, Weschler, & Massarik, (1961) kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi yang dijalankan dalam suatu situasi tertentu, serta diarahkan melalui proses komunikasi, kearah pencapaian satu atau beberapa tujuan tertentu. Menurut Rauch & Behling (1984) kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktifitas sebuah kelompok yang diorganisasi kea rah pencapaian tujuan.
Sedangkan  Yukl (1989) mendefinisikan kepemimpinan sebagai sebuah proses pengaruh sosial yang dalam hal ini pengaruh yang sengaja dijalankan oleh seseorang terhadap orang lain untuk menstruktur aktifitas-aktifitas serta hubungan-hubungan sebuah kelompok atau organisasi.
Berdasarkan pengertian beberapa tokoh di atas, maka dapat disimpulkan  kepemimpinan adalah individu yang memiliki karakteristik fisik, mental, dan kedudukan yang dipandang lebih daripada individu lain dalam suatu kelompok sehingga individu yang bersangkutan dapat mempengaruhi individu lain dalam kelompok tersebut untuk bertindak ke arah pencapaian suatu tujuan.

B.    Tugas dan Peran Pemimpin
Menurut James A.F Stonen, tugas utama seorang pemimpin adalah:

  1. Pemimpin bekerja dengan orang lain. Seorang pemimpin bertanggung jawab untuk bekerja dengan orang lain, salah satu dengan atasannya, staf, teman sekerja atau atasan lain dalam organisasi baik orang diluar organisasi.
  2. Pemimpin adalah tanggung jawab dan mempertanggung jawabkan (akontabilitas). Seorang pemimpin bertanggung jawab untuk menyusun tugas, menjalankan tugas, mengadakan evaluasi, untuk mencapai outcome yang terbaik. Pemimpin bertanggung jawab untuk kesuksesan stafnya tanpa kegagalan.
  3. Pemimpin menyeimbangkan pencapaian tujuan dan prioritas. Proses kepemimpinan dibatasi sumber, jadi pemimpin harus dapat menyusun tugas dengan mendahulukan prioritas. Dalam upaya pencapaian tujuan pemimpin harus dapat mendelegasikan tugas-tugasnya kepada staf. Kemudian pemimpin harus dapat mengatur waktu secara efektif dan menyelesaikan masalah secara efektif.
  4. Pemimpin harus berpikir secara analitis dan konseptual. Seorang pemimpin harus menjadi seorang pemikir yang analitis dan konseptual. Selanjutnya dapat mengidentifikasi masalah dengan akurat. Pemimpin harus dapat menguraikan seluruh pekerjaan menjadi lebih jelas dan kaitannya dengan pekerjaan lain.
  5. Manajer adalah seorang mediator. Konflik selalu terjadi pada setiap tim dan organisasi. Oleh karena itu, pemimpin harus dapat menjadi seorang mediator (penengah).
  6. Pemimpin adalah politisi dan diplomat. Seorang pemimpin harus mampu mengajak dan melakukan kompromi. Sebagai seorang diplomat, seorang pemimpin harus dapat mewakili tim atau organisasinya.
  7. Pemimpin membuat keputusan yang sulit. Seorang pemimpin harus dapat memecahkan masalah.
Menurut Henry Mintzberg, Peran Pemimpin adalah :
1. Peran hubungan antar perorangan, dalam kasus ini fungsinya sebagai pemimpin yang dicontoh, pembangun tim, pelatih, direktur, mentor konsultasi.
2.    Fungsi Peran informal, sebagai monitor, penyebar informasi dan juru bicara.
3.  Peran Pembuat keputusan, berfungsi sebagai pengusaha, penanganan gangguan, sumber alokasi, dan negosiator.

C.    Ciri Kepemimpinan
Ciri-ciri kepemimpinan yang efektif menurut Keith Davis memiliki 4 hal, yaitu:
a.  Intelegensinya tinggi (intellegence). Seorang pemimpin harus memiliki tingkat intelegensi yang lebih tinggi dari bawahannya. 
b.    Kematangan jiwa sosial (social maturity and breadth). Pemimpin biasanya memiliki perasaan/jiwa yang cukup matang dan mempunyai kepentingan serta perhatian yang cukup besar terhadap bawahannya.
c. Motivasi terhadap diri dan hasil (inner motivation and achievment drives). Para pemimpin senantiasa ingin membereskan segala sesuatu yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya.
d.  Menjalin hubungan kerja manusiawi (human relation attides). Pemimpin harus dapat bekerja secara efektif dengan orang lain atau dengan bawahannya.

D.    Tipe – tipe Kepemimpinan
1. Tipe Otokratik
Dilihat dari persepsinya seorang pemimpin yang otokratik adalah seorng yang sangat egois. Seorang pemimpin yang otoriter akan menunjuukkan sikap yang menonjol ”keakuannya”, antara lain dalam bentuk:
  • Kecenderungan memperlakukan para bawahannya sama dengan alat-alat lain dalam organisasi, seperti mesin, dan dengan demikian kurang menghargai harkat dan martabat mereka.
  • Pengutamaan orientasi terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas tanpa mengaitkan pelaksanaan tugas itu dengan kepentingan dan kebutuhan para bawahannya.
  • Pengabaian peran para bawahan dalam proses pemgambilan keputusan.

Gaya kepemimpinan yang dipergunakan adalah:
• Menuntut ketaatan penuh dari bawahannya.
• Dalam menegakkan disiplin menunjukkan keakuannya.
• Bernada keras dalam pemberian perintah atau instruksi.
• Menggunakan pendekatan punitif dalam hal terjaduinya penyimpangn oleh bawahan.

2. Tipe Paternalistik
Tipe pemimpin paternalistik hanya terdapat dilingkungan masyarakat yang bersifat tradisional, umumnya dimasyarakat agraris. Salah satu ciri utama masyarakat tradisional ialah rasa hormat yang tinggi yang ditujukan oleh para anggota masyarakat kepada orang tua atau seseorang yang dituakan. Pemimpin seperti ini kebapakan, sebagai tauladan atau panutan masyarakat. Biasanya tokoh-tokoh adat, para ulama dan guru. Pemimpin ini sangat mengembangkan sikap kebersamaan.

3. Tipe Kharismatik
Tidak banyak hal yang dapat disimak dari literatur yang ada tentang kriteria kepemimpinan yang kharismatik. Memang ada karakteristiknya yang khas, yaitu daya tariknya yang sangat memikat sehingga mampu memperoleh pengikut yang jumlahnya kadang-kadang sangat besar. Tegasnya seorang pemimpin yang kharismatik adalah seseorang yang dikagumi oleh banyak pengikut meskipun para pengikut tersebut tidak selalu dapat menjelaskan secara konkret mengapa orang tersebut dikagumi. 

4. Tipe Laissez Faire
Pemimpin ini berpandangan bahwa umumnya organisasi akan berjalan lancar dengan sendirinya karena para anggota organisasi terdiri ari orang-orang yang sudah dewasa yang mengetahui apa yang menjadi tujuan organisasi, sasaran-sasaran apa yang ingin dicapai, tugas yang harus ditunaikan oleh masing-masing anggota dan pemimpin tidak terlalu sering intervensi.

5. Tipe Demokratis
Kepemimpinan demokratis berorientasi pada manusia dan memberikan bimbingan yang efisien kepada para pengikutnya. Terdapat koordinasi pekerjaan pada semua bawahan, dengan penekanan pada rasa tanggung jawab internal (pada diri sendiri) dan kerjasama yang baik. kekuatan kepemimpinan demokratis tidak terletak pada pemimpinnya akan tetapi terletak pada partisipasi aktif dari setiap warga kelompok.
Kepemimpinan demokratis menghargai potensi setiap individu, mau mendengarkan nasehat dan sugesti bawahan. Bersedia mengakui keahlian para spesialis dengan bidangnya masing-masing. Mampu memanfaatkan kapasitas setiap anggota seefektif mungkin pada saat-saat dan kondisi yang tepat.

E.    Teori Kepemimpinan
Teori kepemimpinan membicarakan bagaimana seseorang menjadi pemimpin atau bagaimana timbulnya seorang pemimpin. Ada beberapa teori tentang kepemimpinan, di antaranya ialah : 
1. Teori Genetie
Inti dari teori ini tersimpul dalam mengadakan "leaders are born and not made". bahwa penganut teori ini mengatakan bahwa seorang pemimpin akan karena ia telah dilahirkan dengan bakat pemimpin.Dalam keadaan bagaimana pun seorang ditempatkan pada suatu waktu ia akan menjadi pemimpin karena ia dilahirkan untuk itu. Artinya takdir telah menetapkan ia menjadi pemimpin.

2. Teori Sosial
Jika teori genetis mengatakan bahwa "leaders are born and not made", make penganut-penganut sosial mengatakan sebaliknya yaitu : "Leaders are made and not born". Penganut-penganut teori ini berpendapat bahwa setiap orang akan dapat menjadi pemimpin apabila diberi pendidikan dan kesempatan untuk itu.

3. Teori Ekologis
Teori ini merupakan penyempurnaan dari kedua teori genetis dan teori sosial. Penganut-penganut teori ini berpendapat bahwa seseorang hanya dapat menjadi pemimpin yang baik apabila pada waktu lahirnya telah memiliki bakat-bakat kepemimpinan, bakat mana kemudian dikembangkan melalui pendidikan yang teratur dan pangalaman-pengalaman yang memungkinkannya untuk mengembangkan lebih lanjut bakat-bakat yang memang telah dimilikinya itu. Teori ini menggabungkan segi-segi positif dari kedua teori genetis dan teori sosial dan dapat dikatakan teori yang paling baik dari teori-teori kepemimpinan. Namun demikian penyelidikan yang jauh yang lebih mendalam masih diperlukan untuk dapat mengatakan secara pasti apa faktor-faktor yang menyebabkan seseorang timbul sebagai pemimpin yang baik. 
















Daftar Pustaka
Muchlas, M. (1998). Perilaku organisasi, dengan studi kasus perumah sakitan, program pendidikan pasca sarjana magister manajemen rumah sakit. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Robbins, S. (1996). Perilaku organisasi: konsep, kontroversi dan aplikasi. Jakarta: PT. Prenhalindo.
Yukl, Gary A. (1989). Leadership in organizations. 2nd Ed. New Jersey: Prentice-Hall International, Inc.
Robbins, Stephen P. (1994). Teori organisasi: struktur, desain & aplikasi. Jakarta: Penerbit Arcan.
Suyami. (2008). Konsep kepemimpinan Jawa dalam ajaran sastra cetha dan astha brata. Yogyakarta: Kepel Press.
Davis, Keith, & Jhon W. Newstrom. (2000). Perilaku dalam organisasi, Edisi Ketujuh, Alih Bahasa Agus Darma, Jakarta: Erlangga.